Anggota Badan Komunikasi Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra Andre Rosiade menjelaskan cuitan kader partainya, Rachel Maryam, soal divestasi PT Freeport Indonesia. Rachel mengkritisi langkah pemerintah membeli mayoritas saham Freeport ketimbang menunggu masa kontrak habis pada 2021.
Menurut Andre, inti dari cuitan rekannya itu adalah untuk mengkritisi pemerintah lantaran terlalu terburu-buru untuk membeli saham Freeport. Padahal, menurut dia, apabila pemerintah menunggu sejenak, paling tidak hingga masa pemerintahan baru, Indonesia bisa mendapatkan tambang di Papua itu dengan harga yang murah, bahkan cuma-cuma.
"Ada wacana kontraknya habis 2021, kan dua tahun sebelumnya yaitu pada 2019 kita bisa negosiasi dengan Freeport untuk memperpanjang kontrak atau tidak, seharusnya tunggu pemerintah baru dulu di 2019," ujar Andre kepada Tempo, Selasa, 25 Desember 2018.
Sebelumnya Rachel menyindir tak sedikit pihak yang mengapresiasi keberhasilan Indonesia menguasai 51,2 persen saham PTFI tersebut. "Ada rumah dikontrakin ke orang. Pas kontraknya abis, untuk bisa ambil alih rumahnya sendiri, si pemilik rumah harus beli ke yg ngontrak. Belinya pake duit utang ke tetangga. Lalu semua tepuk tangan bahagia," ujarnya seperti dikutip dari cuitan di akun Twitter-nya, @cumarachel pada Sabtu pekan lalu, 22 Desember 2018.
Cuitan itu sempat menuai berbagai respons warganet hingga pakar ekonomi. Lantaran itu, Rachel pun kembali membuat cuitan anyar soal Freeport. "Gini lho. Dari pada utang untuk bayar saham yg sebenernya gausah dibeli di thn 2021, lebih baik uang hutangnya dipakai untuk beli modal aset2 untuk mengganti aset2 yg khawatir akan diangkutin si pengontrak itu. Sama-sama ngutang, tapi kedaulatan menjadi 100 persen," cuit dia.
Senada dengan Rachel, Andre menyebut pemerintah mestinya mencermati bahwa Freeport masih memiliki kewajiban untuk membayar denda akibat sejumlah pelanggaran yang dilakukannya. Salah satu perkara yang diungkit Andre adalah soal temuan Badan Pemeriksa Keuangan mengenai kerusakan lingkungan yang diakibatkan aktivitas perusahaan pertambangan itu.
"Hasi audit BPK-nya kan kita rugi ratusan triliun dengan kerusakan lingkungan itu, harusnya tunggu dulu kita tunggu dulu pemerintahan baru, jangan dikemas sekadar untuk pencitraan," ujar Andre. Ia tak ingin gara-gara Pemilu, pemerintah jadi terburu-buru mengeluarkan kocek dari utang dengan nominal hingga di atas Rp 50 triliun itu. "Ini bisa menambah beban untuk bangsa kita, padahal kita bisa dapat lebih murah, bahkan gratis."
Dengan rampungnya divestasi Freeport beberapa hari yang lalu, Andre mengatakan Indonesia jadi mesti ikut menanggung beban perusahaan pertambangan itu. Termasuk untuk membiayai persoalan lingkungan hidup akibat aktivitas pertambangan emas dan tembaga di Mimika, Papua tersebut. "Jadi apakah pantas kita beli dengan Rp 52 triliun, apalagi 2021 harus selesai, wajar enggak angkanya segitu?"
BPK pernah juga melaporkan hasil audit atau pemeriksaan dengan tujuan tertentu terhadap penerapan kontrak karya Freeport Indonesia pada Maret 2018. Hasil audit yang dipublikasikan ini menunjukkan adanya kerusakan ekosistem akibat limbah PT Freeport Indonesia di Papua senilai Rp 185 triliun.
Namun, Anggota IV Badan Pemeriksa Keuangan, Rizal Djalil, menyebut BPK masih akan memonitor tindakan dari Kementerian LHK terkait kerusakan lingkungan akibat limbah Freeport itu. "BPK akan memonitornya karena LHK adalah mitra BPK yang akan melakukan pemeriksaan," ujar Rizal
Menurut Andre, inti dari cuitan rekannya itu adalah untuk mengkritisi pemerintah lantaran terlalu terburu-buru untuk membeli saham Freeport. Padahal, menurut dia, apabila pemerintah menunggu sejenak, paling tidak hingga masa pemerintahan baru, Indonesia bisa mendapatkan tambang di Papua itu dengan harga yang murah, bahkan cuma-cuma.
"Ada wacana kontraknya habis 2021, kan dua tahun sebelumnya yaitu pada 2019 kita bisa negosiasi dengan Freeport untuk memperpanjang kontrak atau tidak, seharusnya tunggu pemerintah baru dulu di 2019," ujar Andre kepada Tempo, Selasa, 25 Desember 2018.
Sebelumnya Rachel menyindir tak sedikit pihak yang mengapresiasi keberhasilan Indonesia menguasai 51,2 persen saham PTFI tersebut. "Ada rumah dikontrakin ke orang. Pas kontraknya abis, untuk bisa ambil alih rumahnya sendiri, si pemilik rumah harus beli ke yg ngontrak. Belinya pake duit utang ke tetangga. Lalu semua tepuk tangan bahagia," ujarnya seperti dikutip dari cuitan di akun Twitter-nya, @cumarachel pada Sabtu pekan lalu, 22 Desember 2018.
Cuitan itu sempat menuai berbagai respons warganet hingga pakar ekonomi. Lantaran itu, Rachel pun kembali membuat cuitan anyar soal Freeport. "Gini lho. Dari pada utang untuk bayar saham yg sebenernya gausah dibeli di thn 2021, lebih baik uang hutangnya dipakai untuk beli modal aset2 untuk mengganti aset2 yg khawatir akan diangkutin si pengontrak itu. Sama-sama ngutang, tapi kedaulatan menjadi 100 persen," cuit dia.
Senada dengan Rachel, Andre menyebut pemerintah mestinya mencermati bahwa Freeport masih memiliki kewajiban untuk membayar denda akibat sejumlah pelanggaran yang dilakukannya. Salah satu perkara yang diungkit Andre adalah soal temuan Badan Pemeriksa Keuangan mengenai kerusakan lingkungan yang diakibatkan aktivitas perusahaan pertambangan itu.
"Hasi audit BPK-nya kan kita rugi ratusan triliun dengan kerusakan lingkungan itu, harusnya tunggu dulu kita tunggu dulu pemerintahan baru, jangan dikemas sekadar untuk pencitraan," ujar Andre. Ia tak ingin gara-gara Pemilu, pemerintah jadi terburu-buru mengeluarkan kocek dari utang dengan nominal hingga di atas Rp 50 triliun itu. "Ini bisa menambah beban untuk bangsa kita, padahal kita bisa dapat lebih murah, bahkan gratis."
Dengan rampungnya divestasi Freeport beberapa hari yang lalu, Andre mengatakan Indonesia jadi mesti ikut menanggung beban perusahaan pertambangan itu. Termasuk untuk membiayai persoalan lingkungan hidup akibat aktivitas pertambangan emas dan tembaga di Mimika, Papua tersebut. "Jadi apakah pantas kita beli dengan Rp 52 triliun, apalagi 2021 harus selesai, wajar enggak angkanya segitu?"
BPK pernah juga melaporkan hasil audit atau pemeriksaan dengan tujuan tertentu terhadap penerapan kontrak karya Freeport Indonesia pada Maret 2018. Hasil audit yang dipublikasikan ini menunjukkan adanya kerusakan ekosistem akibat limbah PT Freeport Indonesia di Papua senilai Rp 185 triliun.
Namun, Anggota IV Badan Pemeriksa Keuangan, Rizal Djalil, menyebut BPK masih akan memonitor tindakan dari Kementerian LHK terkait kerusakan lingkungan akibat limbah Freeport itu. "BPK akan memonitornya karena LHK adalah mitra BPK yang akan melakukan pemeriksaan," ujar Rizal
0 comments:
Post a Comment