
Ada beberapa indikator
ekonomi yang sangat menarik
untuk dicermati ketika melihat
ekonomi Indonesia masa krisis dewasa
ini. Kemudian, dibandingkan dengan data saat
Krisis
ekonomi 1998 yang menumbangkan rezim Orde Baru serta
dibandingkan dengan situasi krisis 2008 ketika Indonesia juga terdampak. Tulisan
ini mencoba membandingkan data yang ada dan membahas sejauh mana "parah-nya"
data
ekonomi 2015 ini ketika kurs 1 dolar AS = Rp 14.200.
pertumbuhan ekonomi ketika krisis 1998 adalah
-13,10 persen (minus), artinya tidak terjadi pertumbuhan, malah kemunduran
ekonomi. Angka minus 13 persen ini cermin kemunduran
ekonomi yang sangat luar biasa. Kenyataan ini diperburuk lagi oleh
tingginya tingkat
inflasi,.yaitu 82,40 persen sehingga
menguras daya beli (purchasing power) masyarakat.
Bari dua indikator ini
saja, jelas terlihat kualitas hidup masyarakat melorot sangat drastis, yakni
karena kemunduran
ekonomi yang sangat signifikan dan daya beli yang
juga terjun bebas.
Sementara, kurs dolar AS terhadap
Rupiah
saat itu Rp 16.650 per dolar AS;
Rupiah terdepresiasi 197 persen
sehingga orang-orang kaya berlomba menukarkan dolarnya saat itu guna mendapatkan
keuntungan besar. Indikator
ekonomi makro lain yang sangat penting
dan sangat erat kaitannya dengan
Sektor Riil adalah
tingkat bunga acuan
bank Indonesia (BI), yakni 60
persen.
Dengan kondisi tingkat bunga sebesar ini, bisa dipastikan
Sektor Riil tidak akan bergerak, yang berarti tidak
akan ada penambahan lapangan kerja baru yang juga berarti daya beli masyarakat
tidak akan bertambah. Dengan tingkat bunga setinggi itu, menjadi tidak heran
ketika NPL (nonperforming /oan/kre-dit macet) sangat tinggi, yakni 30 persen.
Dalam keadaan
ekonomi normal, angka ini mestinya hanya bisa
ditoleransi tak lebih dari 5 persen saja. Inilah yang menjadi salah satu faktor
pemicu terjadinya collapse (ke-bangkrutan)
bank-
bank Tanah Air,
khususnya
bank swasta milik konglomerat di samping
dominannya moral hazard.
Situasi
ekonomi makro 2008 tak
separah 1998.
pertumbuhan ekonomi, misalnya, masih
positif di angka "relatif" bagus, yakni 4,12 persen. Tingkat
inflasi meskipun dua digit, tapi masih relatif lebih
jinak, yakni 12,14 persen dibandingkan kondisi 1998 sehingga daya beli
masyarakat tidak tergerus habis akibat
inflasi seperti
1998.
nilai tukar dolar AS terhadap
Rupiah pada
kisaran Rp 12.650, angka yang juga masih bisa diterima. Adapun NPL berada pada
angka aman, yakni 3,80 persen meskipun tingkat
Suku Bunga relatif
agak tinggi di kisaran 9,50 persen p.a.
Dari data-data ini bisa kita
simpulkan situasinya tidak terlalu mengkhawatirkan. Apalagi, cadangan devisa
pada kisaran 50,2 miliar dolar AS yang berarti cukup untuk membiayai
impor dan pembayaran utang pemerintah yang jatuh tempo
empat bulan ke depan.
Persoalannya, bagaimana dengan data
ekonomi makro 2015 ketika kita dan banyak pakar menyebutnya masuk
Krisis ekonomi? Berikut ini data makro
2015.
pertumbuhan ekonomi sampai Agustus 2015
di 4,57 persen, lebih tinggi dari saat krisis 2008, yakni 4,12 persen dan tentu
sangat jauh lebih tinggi dibandingkan krisis 1998, yaitu -13,10 persen. Kemudian
tingkat
inflasi sampai agustus 2015 juga tinggi, yakni
7,26 persen, jauh lebih rendah dibandingkan krisis 2008 apalagi krisis 1998.
Indikator lain juga relatif lebih baik dibandingkan dua krisis
sebelumnya. NPL hanya 2,60 persen dengan tingkat
Suku Bunga BI 7,50
persen. Kedua angka ini memberi arti yang sangat positif bagi
ekonomi saat ini.
Satu-satunya indikator yang sangat
mengkhawatirkan adalah
nilai tukar Rupiah yang sudah
tembus Rp 14.123 per dolar AS. Angka ini sangat mengkhawatirkan jika dikaitkan
dengan
impor bahan baku sehingga perusahaan yang
memiliki komponen
impor yang besar akan sangat sulit
bersaing karena mahalnya hargajual produk sebagai akibat mahalnya bahan baku
impor yang dibeli karena menguatnya dolar AS.
Perusahaan yang memiliki konten lokal sedikit yang akan paling duluan
merumahkan (baca PHK) karyawannya karena terbebani biaya produksi yang tinggi
dan hargajual tinggi di pasar (tidak kompetitif lagi).
Sebaliknya, bagi
perusahaan yang memiliki dominasi konten lokal besar akan sangat menguntungkan.
Karena biara produksi mereka relatif stabil, tapi barang yang mereka hasilkan
menjadi relatif lebih murah dibandingkan barang sejenis untuk pasar domestik.
Dapat dikatakan jika kita membandingkan besaran
ekonomi
makro krisis 1998, 2008, dan 2015, bisa dengan mudah kita simpulkan bahwa pada
2015 kita tidak akan krisis separah 1998. Paling banter hanya akan sama dengan
krisis 2008 meskipun data yang kita bahas data awal 2015 ketika krisis baru
mulai menghampiri.
Hal terpenting dilakukan pemerintah, pertama,
mempertahankan tingkat
Suku Bunga yang tetap kompetitf sehingga
Sektor Riil juga bisa berkembang dan menambah serta
membuka lapangan kerja baru.
Kedua, secepatnya penyerapan
Anggaran dilakukan oleh semua departemen dan pemda, terutama yang
terkait proyek pemerintah. Ini agar mendorong consumption lead growth yang
dampak multiplier-nya akan sangat luar biasa. Selain membuka lapangan kerja
baru, juga akan mendorong kenaikan daya beli masyarakat, terutama pekerja.
Ketiga, menjaga bagaimana tingkat
inflasi supaya tetap
berada pada angka satu digit sehingga daya beli masyarakat tidak tergerus habis
oleh
inflasi yang tinggi.
Untuk jangka
panjang, pemerintah harus serius memikirkan produksi barang domestik dengan
tingkat konten lokal tinggi sebagai upaya mempertahankan
ekonomi
agar tidak terlalu rentan dari krisis eksternal. Penguatan produksi dalam negeri
ini sangat mungkin dilakukan untuk beberapa
Sektor yang competitive
advantage-nya tinggi.
Sektor pertanian, misalnya, meskipun
tidak mempunyai daya saing tinggi, tapi karena alasan strategis harus diupayakan
mampu memenuhi kebutuhan pasar domestik. Agar kita bisa berdiri sendiri di
Sektor pangan ini, khususnya bahan pokok, beras, palawija, kacang
kedelai, dan lainnya.
Kedua,
Sektor maritim harus diberi
insentif sedemikian rupa sehingga para pelaku
ekonomi di
Sektor ini juga memberikan nilai tambah bagi pendapatan nasional.
Sektor maritim adalah
Sektor yang dahsyat bagi
penerimaan pendapatan negara serta para pelaku
ekonomi yang
terlibat.
Satu hal yang perlu diwaspadai dan diantisipasi pemerintah dan
BI adalah merosotnya
ekonomi Cina yang akan berdampak negatif bagi
per
ekonomian dunia dan Asia Tenggara, khususnya. Juga, rencana
kenaikan tingkat
Suku Bunga the Fed yang meskipun belum pasti kapan
dilakukan, sudah berdampak negatif bagi kurs
Rupiah.
MASFAR
GAZALI
0 comments:
Post a Comment