728x90 AdSpace

  • Latest News

    Powered by Blogger.
    Monday, September 7, 2015

    Antara Dua Krisis

    by Masfar Gazali
     

    Ada beberapa indikator ekonomi yang sangat menarik untuk dicermati ketika melihat ekonomi Indonesia masa krisis dewasa ini. Kemudian, dibandingkan dengan data saat Krisis ekonomi 1998 yang menumbangkan rezim Orde Baru serta dibandingkan dengan situasi krisis 2008 ketika Indonesia juga terdampak. Tulisan ini mencoba membandingkan data yang ada dan membahas sejauh mana "parah-nya" data ekonomi 2015 ini ketika kurs 1 dolar AS = Rp 14.200.

    pertumbuhan ekonomi ketika krisis 1998 adalah -13,10 persen (minus), artinya tidak terjadi pertumbuhan, malah kemunduran ekonomi. Angka minus 13 persen ini cermin kemunduran ekonomi yang sangat luar biasa. Kenyataan ini diperburuk lagi oleh tingginya tingkat inflasi,.yaitu 82,40 persen sehingga menguras daya beli (purchasing power) masyarakat.

    Bari dua indikator ini saja, jelas terlihat kualitas hidup masyarakat melorot sangat drastis, yakni karena kemunduran ekonomi yang sangat signifikan dan daya beli yang juga terjun bebas.

    Sementara, kurs dolar AS terhadap Rupiah saat itu Rp 16.650 per dolar AS; Rupiah terdepresiasi 197 persen sehingga orang-orang kaya berlomba menukarkan dolarnya saat itu guna mendapatkan keuntungan besar. Indikator ekonomi makro lain yang sangat penting dan sangat erat kaitannya dengan Sektor Riil adalah tingkat bunga acuan bank Indonesia (BI), yakni 60 persen.

    Dengan kondisi tingkat bunga sebesar ini, bisa dipastikan Sektor Riil tidak akan bergerak, yang berarti tidak akan ada penambahan lapangan kerja baru yang juga berarti daya beli masyarakat tidak akan bertambah. Dengan tingkat bunga setinggi itu, menjadi tidak heran ketika NPL (nonperforming /oan/kre-dit macet) sangat tinggi, yakni 30 persen.

    Dalam keadaan ekonomi normal, angka ini mestinya hanya bisa ditoleransi tak lebih dari 5 persen saja. Inilah yang menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya collapse (ke-bangkrutan) bank-bank Tanah Air, khususnya bank swasta milik konglomerat di samping dominannya moral hazard.

    Situasi ekonomi makro 2008 tak separah 1998. pertumbuhan ekonomi, misalnya, masih positif di angka "relatif" bagus, yakni 4,12 persen. Tingkat inflasi meskipun dua digit, tapi masih relatif lebih jinak, yakni 12,14 persen dibandingkan kondisi 1998 sehingga daya beli masyarakat tidak tergerus habis akibat inflasi seperti 1998. nilai tukar dolar AS terhadap Rupiah pada kisaran Rp 12.650, angka yang juga masih bisa diterima. Adapun NPL berada pada angka aman, yakni 3,80 persen meskipun tingkat Suku Bunga relatif agak tinggi di kisaran 9,50 persen p.a.

    Dari data-data ini bisa kita simpulkan situasinya tidak terlalu mengkhawatirkan. Apalagi, cadangan devisa pada kisaran 50,2 miliar dolar AS yang berarti cukup untuk membiayai impor dan pembayaran utang pemerintah yang jatuh tempo empat bulan ke depan.

    Persoalannya, bagaimana dengan data ekonomi makro 2015 ketika kita dan banyak pakar menyebutnya masuk Krisis ekonomi? Berikut ini data makro 2015.

    pertumbuhan ekonomi sampai Agustus 2015 di 4,57 persen, lebih tinggi dari saat krisis 2008, yakni 4,12 persen dan tentu sangat jauh lebih tinggi dibandingkan krisis 1998, yaitu -13,10 persen. Kemudian tingkat inflasi sampai agustus 2015 juga tinggi, yakni 7,26 persen, jauh lebih rendah dibandingkan krisis 2008 apalagi krisis 1998.

    Indikator lain juga relatif lebih baik dibandingkan dua krisis sebelumnya. NPL hanya 2,60 persen dengan tingkat Suku Bunga BI 7,50 persen. Kedua angka ini memberi arti yang sangat positif bagi ekonomi saat ini.

    Satu-satunya indikator yang sangat mengkhawatirkan adalah nilai tukar Rupiah yang sudah tembus Rp 14.123 per dolar AS. Angka ini sangat mengkhawatirkan jika dikaitkan dengan impor bahan baku sehingga perusahaan yang memiliki komponen impor yang besar akan sangat sulit bersaing karena mahalnya hargajual produk sebagai akibat mahalnya bahan baku impor yang dibeli karena menguatnya dolar AS.

    Perusahaan yang memiliki konten lokal sedikit yang akan paling duluan merumahkan (baca PHK) karyawannya karena terbebani biaya produksi yang tinggi dan hargajual tinggi di pasar (tidak kompetitif lagi).

    Sebaliknya, bagi perusahaan yang memiliki dominasi konten lokal besar akan sangat menguntungkan. Karena biara produksi mereka relatif stabil, tapi barang yang mereka hasilkan menjadi relatif lebih murah dibandingkan barang sejenis untuk pasar domestik.

    Dapat dikatakan jika kita membandingkan besaran ekonomi makro krisis 1998, 2008, dan 2015, bisa dengan mudah kita simpulkan bahwa pada 2015 kita tidak akan krisis separah 1998. Paling banter hanya akan sama dengan krisis 2008 meskipun data yang kita bahas data awal 2015 ketika krisis baru mulai menghampiri.

    Hal terpenting dilakukan pemerintah, pertama, mempertahankan tingkat Suku Bunga yang tetap kompetitf sehingga Sektor Riil juga bisa berkembang dan menambah serta membuka lapangan kerja baru.

    Kedua, secepatnya penyerapan Anggaran dilakukan oleh semua departemen dan pemda, terutama yang terkait proyek pemerintah. Ini agar mendorong consumption lead growth yang dampak multiplier-nya akan sangat luar biasa. Selain membuka lapangan kerja baru, juga akan mendorong kenaikan daya beli masyarakat, terutama pekerja. Ketiga, menjaga bagaimana tingkat inflasi supaya tetap berada pada angka satu digit sehingga daya beli masyarakat tidak tergerus habis oleh inflasi yang tinggi.

    Untuk jangka panjang, pemerintah harus serius memikirkan produksi barang domestik dengan tingkat konten lokal tinggi sebagai upaya mempertahankan ekonomi agar tidak terlalu rentan dari krisis eksternal. Penguatan produksi dalam negeri ini sangat mungkin dilakukan untuk beberapa Sektor yang competitive advantage-nya tinggi.

    Sektor pertanian, misalnya, meskipun tidak mempunyai daya saing tinggi, tapi karena alasan strategis harus diupayakan mampu memenuhi kebutuhan pasar domestik. Agar kita bisa berdiri sendiri di Sektor pangan ini, khususnya bahan pokok, beras, palawija, kacang kedelai, dan lainnya.

    Kedua, Sektor maritim harus diberi insentif sedemikian rupa sehingga para pelaku ekonomi di Sektor ini juga memberikan nilai tambah bagi pendapatan nasional. Sektor maritim adalah Sektor yang dahsyat bagi penerimaan pendapatan negara serta para pelaku ekonomi yang terlibat.

    Satu hal yang perlu diwaspadai dan diantisipasi pemerintah dan BI adalah merosotnya ekonomi Cina yang akan berdampak negatif bagi perekonomian dunia dan Asia Tenggara, khususnya. Juga, rencana kenaikan tingkat Suku Bunga the Fed yang meskipun belum pasti kapan dilakukan, sudah berdampak negatif bagi kurs Rupiah.

    MASFAR GAZALI
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 comments:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Antara Dua Krisis Rating: 5 Reviewed By: Jazari Abdul Hamid

    Popular Posts

    Scroll to Top